Waktunya Mengenalkan Literasi Kebencanan Secara Masif Di Bidang Pendidikan
Blitar Jawa Timur - Dalam acara reuni mahasiswa jurusan
pendidikan luar sekolah Universitas Negeri Malang (d/h IKIP Malang), angkatan
tahun 1983, salah satu bahan perbincangan adalah masalah pentingnya penguasaan
literasi kebencanaan bagi masyarakat, khususnya yang berdiam di kawasan rawan
bencana.
Kegiatan yang berlangsung di Wisma Muradi, Kota Blitar
selama dua hari, (11 sd 12/6/2022), berlangsung penuh keakraban. Mereka yang
lama tidak bertemu, saling berbagi pengalaman. Termasuk tentang upaya
pengurangan risiko bencana melalui sosialisasi akan pentingnya literasi
kebencanaan.
Supriyono, salah seorang peserta reuni, mengatakan bahwa
tujuan literasi kebencanaan itu untuk memberikan pengetahuan dan meningkatkan
kesadaran bagi masyarakat, untuk membangun kesiapsiagaan dan ketangguhan
menghadapi potensi bencana yang ada di daerahnya.
Konon, literasi kebencanaan itu merupakan hal penting dari
proses mitigasi bencana, guna mempersiapkan masyarakat menghadapi bencana
secara mandiri sesuai dengan kearifan lokal yang berlaku disitu. Hasilnya,
masyarakat dapat melakukan antisipasi lebih dini dan beradaptasi ketika
menghadapi kejadian bencana.
Sementara Gatot, yang pernah dipindah tugaskan dari Dinas Pendidikan ke BPBD Kota Malang, mengatakan, kedepan relawan diharapkan juga melakukan edukasi terkait dengan literasi kebencanaan. Misalnya melalui program SPAB dan SDSB seperti yang telah dilakukan oleh Forum PRB Jawa Timur.
Apalagi dalam rapat koordinasi sekretariat bersama relawan
penanggulangan bencana Jawa Timur, baru-baru ini, dengan disaksikan pejabat
BPBD Provinsi Jawa Timur, telah membuka kerjasama dengan persatuan wartawan
indonesia untuk mendidik relawan melek jurnalistik. Dari situ diharapkan mereka
dapat menuliskan pengalamannya saat berkiprah di berbagai fase penanggulangan
bencana, yang akan menjadi bahan pembelajaran bagi sesama relawan, termasuk
masyarakat untuk menumbuhkan budaya tangguh bencana, yang menjadi programnya
BNPB.
“Contoh nyata adalah ketika Gunung Kelud erupsi,
masyarakatnya sudah siaga menghadapi segala kemungkinan, termasuk melakukan
pengungsian dan evakuasi secara mandiri,” katanya.
Perbincangan yang berlangsung santai sambil menikmati wedang
kopi, juga membahas masalah pelaksanaan program SPAB yang belum bisa berjalan
sebagaimana yang diharapkan. Semua dikarenakan kurangnya sosialisasi masalah
SPAB kepada para pejabat dinas Pendidikan, mulai dari kepala dinas, pengawas,
dan kepala sekolah.
“Kalau guru, saya kira mereka selalu siap melaksanakan
perintah pimpinannya. Termasuk menggandeng komunitas relawan untuk melaksanakan
program SPAB sebagai salah satu bagian dari gerakan literasi kebencanaan,” tambahnya.
Ketika pendidikan formal masih belum siap menyelanggarakan program SPAB, karena adanya masalah internal. Tidak ada salahnya dicoba melalui pendidikan nonformal. Seperti PKBM (pusat kegiatan belajar masyarakat), maupun LKP (lembaga kursus dan pelatihan), yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota. Melalui pendidikan nonformal, gerakan literasi kebencanaan dapat dilakukan secara masif, karena banyak pihak yang bisa dilibatkan dan penyampaiannya pun tidak selalu prosedural, disesuaikan dengan karakteristik masyarakat setempat.
“Melalui pendidikan nonformal, tampaknya program SPAB akan
mudah dilaksanakan dan dapat menyasar berbagai kelompok masyarakat. Seperti
PKK, Majelis Taklim, Arisan Dasa Wisma, Karang Taruna, Remaja Masjid,” katanya,
memungkasi obrolan dalam rangka reuni alumni mahasiswa pendidikan luar sekolah
Universitan Negeri Malang.
Selain acara ngobrol berbagi pengalaman, acara reuni juga diisi
dengan kegiatan berkunjung ke Musium Bung Karno, Makam Bung Karno, Pendopo
Kabupaten Blitas, Kantor Bupati Blitar, dekat dengan Ruang Terbuka Hijau yang
asri, serta ke Candi Penataran dan Kampung Coklat. [eB]
Post a Comment