Kolaborasi Multi Pihak Untuk Membangun Kesiapsiagaan Masyarakat Menghadapi Bencana
Seperti diketahui bersama bahwa masalah bencana adalah
urusan bersama. Masing-masing elemen masyarakat (Pentahelix)
punya peran sendiri sesuai kapasitas yang dimiliki. Untuk itulah, BPBD yang
memiliki “kewenangan” hendaknya mendorong terbangunnya sinergi, koordinasi dan
kolaborasi antar pihak dalam rangka
upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB), maupun penanggulangan bencana, yang
konon semakin sering terjadi di Indonesia.
Begitu juga dalam upaya membangun kesiapsiagaan masyarakat
(utamanya di kawasan rawan bencana), diperlukan kerja kolaboratif yang
melibatkan berbagai pihak untuk saling melengkapi dan memperkuat dari berbagai
bidang garapan, dengan semangat saling mendukung antar pihak sesuai kapasitas
yang dimiliki.
“Tentu, dalam kegiatan penanggulangan bencana itu selalu ada
kekurangannya. Karena, bencana yang sama tetapi penanganannya akan berbeda di
lain daerah. Sehingga diperlukan kegiatan evaluasi untuk memperbaiki aksi
dikemudian hari,” kata Syamsul Maarif, dalam kegiatan webinar dengan tema
membangun kesiapsiagaan yang kolaboratif, Rabu (11/05/2022).
Webinar kali ini juga dimanfaatkan BNPB untuk memperkenalkan
lagu keluarga tangguh bencana (Katana) yang diciptakan oleh Profesor Syamsul
Maarif, seorang guru besar Universitas Pertahanan (Unhan).
Webinar yang diselenggarakan oleh Direktorat Kesiapsiagaan,
BNPB itu, dalam rangka membangun tali silaturahmi antar pegiat kebencanaan di
seluruh Indonesial. Tentu dengan harapan, para pihak bisa bekerjasama dalam
mensukseskan program BPBD dan BNPB. Diantaranya, Desa Tangguh Bencana, dan
Keluarga Tangguh Bencana. Termasuk program satuan pendidikan aman bencana yang
sudah ada payung hukumnya namun belum berjalan sebagaimana mestinya.
Orang-orang tersebut akan menghadirkan pemikiran yang
benar-benar berbeda dan akibatnya suatu persoalan akan ditangani dari berbagai
segi. Agar kolaborasi bisa berjalan efektif, dibutuhkan kepercayaan dan rasa
saling menghormati, serta tidak saling menjatuhkan.
“Untuk itulah diperlukan kepemimpinan yang fasilitatif yang
bisa memobilisasi para pihak untuk berkolaborasi membangun kesiapsiagaan
masyarakat menghadapi bencana, dalam rangka menumbuhkan budaya tangguh
bencana,” tambahnya.
Kegiatan yang diikuti oleh berbagai pegiat kebencanaan dari
berbagai daerah di Indonesia ini, seperti BPBD, FPRB, FPT PRB dan relawan
kebencanaan, diharapkan dapat mempererat silaturahmi dan bekerjasama membantu
BPBD dalam bidang kebencanaan, serta saling menyadari akan peran dan kemampuannya.
Sementara, BPBD hendaknya membuka diri untuk melibatkan berbagai pihak membahas program penanggulangan bencana di daerahnya. Serta bisa memfasilitasi pegiat kebencanaan (relawan) untuk meningkatkan kapasitas serta membangun komunikasi, koordinasi dan kolaborasi dengan organisasi perangkat daerah yang memiliki keterkaitan dengan kebencanaan.
“Tidak mungkinlah relawan bisa mengundang atau mengajak
dinas terkait untuk berkegiatan. Ini yang bisa adalah BPBD. Karena memiliki
kemampuan dan kewenangan untuk mengkoordinasikan berbagai pihak untuk
bersama-sama membangun kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana,” pungkasnya.
Banyak pihak berharap agar konsep membangun kesiapsiagaan masyarakaat melalui kolaborasi antar elemen pentahelix, bisa ditindak lanjuti dengan kegiatan nyata. Misalnya, mengadakan workshop tentang bagaimana bentuk kolaborasi yang mudah dilakukan oleh para pihak dan mudah pula dipahami oleh masyarakat yang menjadi sasaran edukasi.
Selama ini sudah sering dikatakan tentang perlunya upaya membangun sinergi pentahelix di semua fase bencana. Namun kenyataannya tidak mudah dilakukan karena berbagai sebab. Ya, semua masih berproses, mencari bentuk sinergi yang bisa dipahami bersama. Semoga. [eBas].
Post a Comment