Lokakarya Peran Difabel Dalam Penanggulangan Bencana
Dalam rangka Hari Kesiapsiagaan Bencana 2022, Sub klaster
Perlindungan Lansia, Disabilitas, dan Kelompok Berisiko Lainnya, mengadakan
Lokakarya bertemakan peran keluarga & masyarakat dalam Kesiapsiagaan
Bencana yang Inklusif, Jumat (22/04/2022).
Kegiatan ini berusaha menggali permasalahan dan hambatan
para difabel dalam penanggulangan bencana. Hal ini mengingat regulasinya sudah
ada, dan berbagai komunitas difabel, seperti gerkatin, telah siap dilibatkan
dalam kegiatan kebencanan. Baik itu fase pra bencana, fase tanggap darurat
bencana, maupun fase pasca bencana.
Perka BNPB No. 13 tahun 2014, tentang pengarusutamaan gender
dalam penanggulangan bencana, menjadi pedoman bagi pemerintah pusat, pemerintah
daerah dan pihak non-pemerintah dalam melaksanakan pengarusutamaan gender di bidang
penanggulangan bencana (PB) dalam seluruh tahapannya,
Sementara, tujuan Perka BNPB No. 13/2014 adalah untuk :
Melaksanakan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan gender dalam setiap
komponen penyelenggaraan PB, Mendorong pengarusutamaan gender dengan menyusun
perencanaan dan penganggaran responsif gender dalam PB, dan Mendorong
terwujudnya perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan dan laki-laki dalam
PB.
“Regulasi tentang disabilitas itu sebenarnya sudah ada, namun sering kali terabaikan, entah mengapa. Ke depan, jika memungkinkan harus ada media jagongan yang mempertemukan komunitas difabel dengan berbagai pihak, termasuk BPBD, yang diinisiasi oleh Forum PRB,” kata peserta dari Sukabumi, yang enggan menyebutkan jati dirinya.
Sementara Andi, dari Gerkatin Kota Sleman Jawa Tengah, menyampaikan
bahwa keterlibatan teman-teman tuna rungu itu memang sangat diharapkan di
setiap kegiatan rapat dan sejenisnya.
Sayangnya, tuna rungu yang tidak aktif di lapangan, sering dipilih untuk
memenuhi undangan, sehingga tuna rungu yang dipilih itu tidak bisa menyampaikan
aspirasi dan masukan.
“Yang diundang hanya itu-itu saja dan hanya diam saja tanpa
aktif berpendapat menyuarakan kebutuhan komunitas tuna rungu. Hal itu akan
memberikan kesan bahwa kawan-kawan tuna rungu itu tidak bisa apa apa. Sehingga masyarakat tidak
tahu apa yang dibutuhkan oleh penderita tuna rungu. Untuk itu undanglah orang tuna
rungu yang benar-benar aktif dan punya
ide yang inspiratif,” ujar Andi.
Sedangkan Edy Susanto menambahkan, bahwa data pilah terkait
dengan keberadaan difabel belum ada. Atau ada, namun tidak lengkap. Sementara,
dalam setiap perencanaan kegiatan kebencanaan juga belum melibatkan
disabilitas, karena mereka masih dianggap sebagai objek.
Tentu, untuk pelibatan difabel dalam penanggulangan bencana
harus ada juru bahasa isarat dan pendamping yang bisa mengarahkan para disabel.
Masalahnya, bisakah BPBD, sebagai pemegang komando dalam penanggulangan bencana
“mendanai” para pendamping dan juru bahasa isarat dalam menjalankan tugasnya
terkait responsif gender? Harusnya bisa, karena regulasinya mencantumkan itu.
Dalam Perka 13 tahun 2014, dikatakan bahwa Anggaran Responsif Gender bisa berasal dari APBN, APBD, maupun sumber lain yang tidak mengikat dan harus dapat: Mengatasi masalah kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam akses, partisipasi, manfaat dan kontrol terhadap sumber daya; Memperkuat pelembagaan pengarusutamaan gender, baik dalam hal pendataan maupun peningkatan kapasitas sumber daya manusia; Memenuhi kebutuhan dasar khusus perempuan dan/atau kebutuhan dasar khusus laki-laki berdasarkan analisis gender.
Semetara, Dewi peserta dari Jogjakarta mengatakan bahwa
perlu mencari solusi tentang kurangnya ruang dan kesempatan, serta kepercayaan
yang diberikan oleh lingkungan. Baik itu di lingkungan keluarga, masyarakat
maupun pemerintah yang membuat regulasi, termasuk minimnya akses informasi.
“Inilah masalah kita bersama yang harus dibicarakan secara
bersama oleh para pihak agar regulasi yang sudah ada bisa berjalan efektif,” kata
Dewi mengakhiri kegiatan lokakarya secara online. [eB]
Post a Comment