Kendala Pelaksanaan Sosialisasi Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB)
Surabaya Jawa Timur - Konon, program Satuan Pendidikan Aman Bencana
(SPAB) itu merupakan upaya pemerintah memberikan perlindungan dam keselamatan kepada
peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan, dari risiko bencana,
sekaligus perlunya meningkatkan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana di satuan
pendidikan.
Hal tersebut di atas jelas terdapat di dalam pembukaan
Permendikbud nomor 33 tahun 2019. Disana juga dikatakan bahwa, dengan program
SPAB akan menjamin keberlangsungan layanan pendidikan pada satuan pendidikan
yang terdampak bencana, serta perlunya dilakukan penanganan pada situasi
darurat dan pasca bencana.
Tujuan dari penyelenggaraan Program Satuan Pendidikan Aman
Bencana: 1. Meningkatkan kemampuan sumber daya di satuan pendidikan dalam
menanggulangi dan mengurangi risiko bencana; 2. Melindungi investasi pada
satuan pendidikan agar aman terhadap bencana; 3. Meningkatkan kualitas sarana
dan prasarana satuan pendidikan agar aman terhadap bencana; 4. Memberikan
perlindungan dan keselamatan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga
kependidikan dari dampak bencana di satuan pendidikan. 5. Memastikan
keberlangsungan layanan pendidikan pada satuan pendidikan yang terdampak
bencana; 6. Memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik
risiko bencana dan kebutuhan satuan pendidikan; 7. Memulihkan dampak bencana di
satuan pendidikan; dan 8. Membangun kemandirian satuan pendidikan dalam
menjalankan program SPAB.
Seperti diketahui, ketika terjadi bencana, semua masyarakat
panik, berupaya menyelamatkan keluarga dan harta bendanya, semampunya. Semua
bingung, termasuk pendidik dan tenaga kependidikan. Sementara peserta didiknya,
jelas ikut berlari mengungsi bersama keluarganya.
Dalam situasi ini, keberadaan ‘sekolah’ terabaikan. Semua sarana prasarana sekolah dan seluruh dokumen penting sering rusak, dan hilang berantakan diterjang bencana. Begitu juga dengan proses belajar mengajar juga berhenti. Karena semua sibuk menyelamatkan diri.
Untuk itulah perlunya sosialisasi pengurangan risiko bencana
kepada “warga sekolah” melalui program SPAB. Namun, kenyataannya kegiatan
sosialisasi SPAB ini tidak berjalan mulus. Kebanyakan, pihak sekolah bersikap
pasif, hanya menunggu “jatah” sosialisasi SPAB yang diselenggarakan oleh pihak lain.
Biasanya, sekolah swastalah yang aktif menawarkan diri agar
sekolahnya dikenai kegiatan sosialisasi SPAB, atau sekolah yang kepala
sekolahnya berani dan mengerti akan pentingnya SPAB. Sementara yang lain masih
menunggu arahan dan petunjuk dari atasannya.
Pertanyaannya kemudian, apakah acara sosialisasi yang hanya
sehari itu, dengan membahas tiga modul yang terdiri dari modul fasilitas
sekolah aman, modul manajemen bencana di sekolah, dan modul pendidikan
pencegahan dan pengurangan risiko bencana, bisa dipahami warga sekolah dalam sehari, untuk kemudian mampu melindak
lanjutinya ?.
Celakanya, sekolah yang sudah mengikuti sosialisasi sehari
tentang SPAB, sudah dilabeli sebagai sekolah tangguh bencana, sekolah berbudaya
tangguh bencana, dan berbagai nama keren lain yang disematkan, dan menyenangkan
berbagai pihak, karena bisa mendongkrak indek ketahanan daerah, untuk mengukur
kapasitas penanggulangan bencana di suatu wilayah.
Padahal, di dalam UU nomor 24 tahun 2007, tentang
penanggulangan bencana, pada pasal 26, ayat 1, point b, dikatakan bahwa setiap
orang berhak mendapat pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana. Kemudian, pasal 27, poin b, dikatakan
bahwa, setiap orang berkewajiban melakukan kegiatan penanggulangan bencana.
Apa yang tersurat pada pasal 26 dan 27 di atas, jelas
mengatakan bahwa setiap orang wajib terlibat dalam upaya penanggulangan bencana
di semua fase. Agar mereka punya kapasitas dalam kegiatan penanggulangan
bencana, perlu mendapatkan pelatihan. Diantaranya melalui program SPAB untuk
warga sekolah.
Jadi, sangat tidak elok jika dinas pendidikan masih enggan
menyuruh sekolah menyelenggarakan program SPAB dengan segala alasannya.
Termasuk alasan tidak ada anggaran untuk mendanai program SPAB.
Dalam pasal 34 Permendikbud
33 Thn 2019, jelas disebutkan bahwa pendanaan penyelenggaraan Program
SPAB bersumber dari: a- anggaran pendapatan dan belanja negara; b- anggaran
pendapatan dan belanja daerah; c- Masyarakat; d- sumber lain yang sah dan tidak
mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan/perundangan.
Sedangkan untuk melaksanakan program SPAB yang sesuai dengan modul yang ada itu, sekolah tidak bisa mengerjakan sendiri karena banyaknya materi yang dipelajari, dan belum tentu sekolah mengerti. Sebaiknya melibatkan para pihak yang memiliki kapasitas untuk berpartisipasi. Misalnya komunitas relawan.
Hal ini seperti yang tersurat dalam pasal 35 Permendikbud 33
Tahun 2019, tentang partisipasi, disebutkan dalam ayat (2), bahwa Partisipasi
Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a- fasilitasi
program; b- fasilitasi pendanaan; c- fasilitasi rehabilitasi dan rekonstruksi;
d- dukungan tenaga ahli; e- fasilitasi sarpras pendidikan darurat.
Konon, sekolah menolak melibatkan relawan untuk
menyelenggarakan program SPAB itu, disamping belum ada arahan dan petunjuk
atasan, juga karena takut tidak mampu mbayari relawan. Sebuah ketakutan yang diciptakan sendiri
karena tidak mau berkomunikasi, membuka diri. Sungguh semua itu bisa
dibicarakan dengan jika sudah ada koordinasi.
Sayangnya, pihak Sekretariat Nasional SPAB kurang agresif
mendorong dinas pendidikan provinsi, kabupaten/kota untuk memahami dan
mengamalkan program SPAB. Semoga ada komunitas relawan yang berani nekat
menginisiasinya melalui diskusi terbuka, baik secara luring maupun daring. Wallahu
a’lam. Salam Tangguh [eBas]
Post a Comment