Tanggapan Kejaksaan Agung, Terkait Pemberitaan Korupsi Di Bawah Rp 50 Juta Cukup Kembalikan Kerugian Negara
Jakarta – Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Republik
Indonesia dalam siaran persnya disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum
(Kapuspenkum) Leonard Eben Ezer Simanjuntak, SH. MH.
Jum’at (28/1/2022) menyampaikan tanggapan beberapa
pemberitaan yang berkembang di beberapa media massa mengenai “Jaksa Agung Sebut
Korupsi di Bawah Rp 50 Juta Cukup Kembalikan Kerugian Negara”, menyampaikan
beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, menyampaikan bahwa pada Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI pada Senin 17
Januari 2022, beberapa Anggota Komisi III DPR RI memberikan pertanyaan kepada
Jaksa Agung RI.
Anggota Komisi III DPR RI Benny K. Harman yang pada pokoknya menyampaikan kepada Jaksa Agung
RI “Kasus korupsi di bawah 1 juta janganlah diproses. Tapi sampai saat ini,
kami dapat data banyak kasus korupsi di bawah Rp1 juta masih diproses. Ini yang
kemudian dibilang hukum kita ini tumpul ke atas tajam ke bawah. Alangkah
baiknya kalau pak JA membuat kebijakan supaya kasus korupsi 1 juta ke bawah
tidak diproses. Lebih baik proses kasus besar daripada kasus kecil”.
Selanjutnya, Anggota
Komisi III DPR RI Supriansa juga menyampaikan kepada Jaksa Agung
RI, “Tidak sedikit kasus dana desa dengan nilai rendah yang anggaplah hanya
beda 7 juta, beda 5 juta tapi karena masuk di pengadilan mesti ada tuntutan dan
akhirnya diputus sekian tahun. Kalau dipikir-pikir, kalau nilainya kecil
seperti itu, saya mengharapkan Jampidsus ada terobosan pengembalian uang
daripada di penjara orang ini. Lebih banyak biaya makan dia didalam ketimbang
dengan apa yang kita kejar. Toh juga bangsa ini memiliki keterbatasan soal
ketersediaan Lapas yang sudah over capacity. Luar biasa kalau kita paksa masuk
tapi nilainya rendah. Apa ada solusi atau memang kita harus lurus tegak
memenjarakan orang meskipun nilainya cukup kecil?.”
Atas kedua pertanyaan
tersebut, Jaksa Agung RI pada Rapat Kerja hari Kamis (27/01 2022),
memberikan penjelasan bahwa terhadap perkara-perkara Dana Desa yang kerugiannya
tidak terlalu besar dan perbuatan tersebut tidak dilakukan secara terus menerus
(keep going) maka dihimbau untuk diselesaikan secara administratif dengan
cara mengembalikan kerugian tersebut dan terhadap pelaku dilakukan pembinaan
melalui Inspektorat untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Selanjutnya, Jaksa
Agung menjelaskan, terkait perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan
negara Rp1.000.000,- (satu juta rupiah), sesuai data yang kami terima, terdapat
1 (satu) penyidikan yang dilakukan oleh Polresta Pontianak dalam perkara
Pungutan Liar (Pungli) yang melibatkan seorang wasit dengan nilai Rp2.200.000,-
(dua juta dua ratus ribu rupiah) dan saat ini perkara tersebut masih dalam
tahap Pra-Penuntutan di Kejaksaan Negeri Pontianak. Perkara tersebut tidaklah
berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun terkait dengan upaya
pemberantasan pungutan liar (saber pungli). Oleh Karenanya penanganannya diharapkan
dilakukan secara profesional dengan memperhatikan hati nurani dan/atau
menggunakan instrumen lain selain Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan untuk perkara Tipikor yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara,
Kejaksaan Agung telah memberikan himbauan kepada jajaranya untuk tindak pidana
korupsi yang kerugian keuangan negaranya di bawah Rp50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah) untuk diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian keuangan
negara sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana dan biaya
ringan.
Adapun penjelasan di atas,
merupakan respon Jaksa Agung RI dan himbauan yang sifatnya umum untuk
menjadi pemikiran bersama dan diperoleh solusi yang tepat dalam penindakan
tindak pidana korupsi yang menyentuh baik pelaku dan masyarakat di level akar
rumput, yang secara umum dilakukan karena ketidaktahuan atau tidak ada
kesengajaan untuk menggarong uang negara, dan nilai kerugian keuangan negaranya
pun relatif kecil.
Seperti misalnya, seorang
Kepala Desa tanpa pelatihan tentang bagaimana cara pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara, ia harus mengelola dana desa senilai Rp1
Miliar untuk pembangunan desanya. Hal ini tentunya akan melukai keadilan
masyarakat, apabila dilakukan penindakan tindak pidana korupsi padahal hanya
sifatnya kesalahan administrasi (misalnya kelebihan membayar kepada para tukang
atau pembantu tukang dalam pelaksanaan pembangunan di desanya dan nilainya
relatif kecil serta Kepala Desa tersebut sama sekali tidak menikmati uang-uang
tersebut).
Contoh lainnya, seorang
bendahara gaji membuat nilai gaji yang lebih besar dari yang seharusnya
diterima oleh beberapa pegawai di suatu instansi pemerintah. Ini pun suatu maladministrasi,
yang akan melukai keadilan masyarakat, jika kasus-kasus tersebut ditangani
dengan menggunakan instrumen Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Oleh karena itu, Jaksa Agung RI menghimbau untuk dijadikan renungan bersama bahwa penegakan
hukum tindak pidana korupsi pun harus mengutamakan nilai keadilan yang
substantif selain kemanfaatan hukum dan kepastian hukum.
“Upaya preventif
pendampingan dan pembinaan” terhadap Kepala Desa oleh jajaran Kejaksaan atau
inspektorat kabupaten/kota, menjadi hal yang sangat penting dan prioritas.
Selain itu, upaya penyadaran kepada pelaku untuk secara sukarela mengembalikan
kerugian keuangan negara yang timbul akibat perbuatannya merupakan hal-hal yang
meringankan apabila pengembalian kerugian keuangan negara dilakukan pada tahap
penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di persidangan.
Kejaksaan mengapresiasi,
jika terduga pelaku telah mengembalikan secara sukarela, ketika tim inspektorat
telah turun dan menemukan kerugian keuangan negara sebelum tindakan penyidikan
dilakukan oleh aparat penegak hukum, dan perkara itu sifatnya kesalahan
administratif serta kerugian keuangan negara yang timbul juga relatif kecil. Untuk
perkara yang model inilah Jaksa Agung RI wacanakan dalam bentuk himbauan
untuk ditangani dengan menggunakan instrumen lain selain instrumen
undang-undang tindak pidana korupsi.
Himbauan Jaksa Agung
RI bukanlah untuk impunitas pelaku tindak pidana korupsi dengan kerugian
keuangan negara yang relatif kecil, tetapi wacana itu dibuka untuk dibahas ke
publik agar penindakan tindak pidana korupsi pun berdasarkan pemikiran yang
jernih atas hakikat penegakan hukum itu sendiri, yaitu pemulihan pada keadaan
semula.
Kedua, terkait
perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara di bawah Rp1.000.000
(satu juta rupiah), perkara tersebut tidaklah berkaitan dengan kerugian
keuangan negara, namun terkait dengan upaya pemberantasan pungutan liar (saber
pungli). Oleh karenanya, Jaksa Agung RI menyampaikan pada saat di DPR RI
agar penanganannya diharapkan dilakukan secara profesional dengan memperhatikan
hati nurani dan/atau menggunakan instrumen lain selain Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi.
Selanjutnya, Jaksa
Agung RI juga menyampaikan untuk perkara tindak pidana korupsi yang berkaitan
dengan kerugian keuangan negara, Kejaksaan Agung telah memberikan himbauan
kepada jajarannya untuk tindak pidana korupsi yang kerugian keuangan negaranya
di bawah Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) agar diselesaikan dengan cara
pengembalian kerugian keuangan negara sebagai upaya pelaksanaan proses hukum
secara cepat, sederhana dan biaya ringan.
Sedangkan pandangan
terkait analisis nilai ekonomi dalam tindak pidana korupsi juga perlu menjadi
perhatian aparat penegak hukum dimana dapat dibayangkan korupsi Rp 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah) harus ditangani oleh aparat penegak hukum (dari
penyidikan sampai dengan eksekusi) dengan biaya operasional penanganan perkara
yang dikeluarkan oleh Negara bisa melebihi dari Rp50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah) dari kerugian Negara yang ditimbulkan tersebut, hal ini akan menjadi
beban pemerintah seperti biaya makan, minum dan sarana lainnya kepada Terdakwa
apabila Terdakwa tersebut diproses sampai dengan eksekusi (di Lembaga
Pemasyarakatan). Artinya, analisis cost and benefit penanganan perkara
tindak pidana korupsi juga penting menjadi pertimbangan dalam rangka mencapai
nilai keadilan masyarakat dan nilai kemanfaatan hukum. Jaksa Agung RI
mengharapkan penjelasan ini tidak menjadi pemberitaan negatif di masyarakat.
Post a Comment