News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Problematika Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) Dibahas Di Rumah Resilensi

Problematika Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) Dibahas Di Rumah Resilensi

Nusa Dua Bali - Di dalam penyelenggaraan Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) ke-7, panitia menyediakan ruang khusus yang diberi nama Rumah Resiliensi Indonesia (RRI). Disana menjadi tempat pamer terhadap praktik baik upaya pengurangan risiko bencana yang dilakukan oleh berbagai pihak di seluruh dunia.

Di ruang RRI, semua komunitas yang bergerak dibidang kemanusiaan, termasuk delegasi dari manca negara, diberi kesempatan menceritakan pengalamannya menyelenggarakan kegiatan yang bersentuhan langsung dengan masalah kemanusiaan, khususnya kebencanaan, dengan segala suka dukanya.

Salah satu bahasan yang diceritakan pada Rabu (25/05/2022), adalah tentang praktek baik penyelenggaraan satuan pendidikan aman bencana (SPAB) dengan berbagai kendala yang menghambatnya.

mBak Dede, panggilan akrab nara sumber dari Jogja, mengatakan bahwa sampai saat ini penyelenggaraan program SPAB, masih sebatas sosialisasi yang berlangsung hanya beberapa jam saja. Belum tumbuh kesadaran bahwa SPAB itu sangat penting dalam rangka melindungi warga sekolah. Baik itu peserta didik, pendidik, maupun tenaga kependidikan.

“Kita semua sudah tahu bahwa dengan adanya permendikbud nomor 33 tahun 2019, harusnya pihak dinas pendidikan sudah memberi instruksi kepada seluruh sekolah agar melaksanakannya. Namun nyatanya masih sedikit sekolah yang telah melakukan. Itu pun jika ada bantuan dana, baru dilakukan,” Katanya dengan sedikit prihatin.

Dikatakan pula bahwa beberapa tantangan implementasi SPAB itu diantaranya adalah, mayoritas pemangku pendidikan belum tahu tentang adanya permendikbud yang menjadi payung pelaksanaan SPAB.

Mereka juga belum memiliki inisiatif dan kreatifitas untuk menyelenggarakan secara mandiri dengan berbagai alasan, serta menganggap bahwa program SPAB belum menjadi prioritas untuk dilaksanakan di sekolah. Apalagi di daerah dimana sekolah itu berada, dianggap tidak ada potensi bencana, karena selama ini memang tidak pernah terjadi bencana.

Kemudian, sekolah pun, masih menganggap program SPAB ini adalah sebuah projek yang anggarannya besar, sehingga penyelenggaraannya menunggu petunjuk dan arahan dari atasan, dari pada berinisiatif namun disalahkan.

Sementara itu, fasilitator pendamping program SPAB dirasa masih kurang. Sehingga perlu ada upaya menambah fasilitator baru melalui pendidikan dan pelatihan. 

“Dengan semakin banyaknya fasilitator daerah yang mampu pelaksanaan pendampingan program, maka tidak lagi harus mendatangkan fasilitator dari pusat. Sekali lagi semua itu bisa terwujud jika ada komitmen dari para pihak,” tambahnya.

Diakhir paparannya, mbak Dede juga menampilkan beberapa rekomendasi agar program SPAB bisa berjalan sebagai mana mestinya. Diantaranya, menjadikan SPAB sebagai program yang menarik bagi satuan pendidikan, adanya kebijakan yang dapat menekan implementasi SPAB di semua jenjang pendidikan. 

“Tidak kalah pentingnya adalah menyediakan sumber belajar tentang kebencanaan yang mendampingi modul fasilitas sekolah aman, pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana, dan manajemen bencana di sekolah, yang sederhana, mudah dipahami namun menarik bagi yang membacanya,” pungkasnya. [eB]

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment