Gerakan Literasi Kebencanaan Sebuah Keharusan
Surabaya Jawa Timur - Ternyata, diawal musim penghujan tahun
ini, telah membawa kerugian harta benda yang tidak sedikit. Berbagai pihak ada
yang menyalahkan hujan sebagai penyebabnya. Namun banyak juga yang bilang bahwa
penyebab banjir itu, disamping intensitas hujan yang tinggi, juga diakibatkan
adanya kerusakan lingkungan karena berubahnya tata guna lahan.
Lepas dari itu semua, yang jelas bencana sudah di depan
mata. Sudah saatnya semua meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Salah
satunya adalah melalui gerakan literasi kebencanaan. Seperti, program destana, Satuan
Pendidikan Aman Bencana (SPAB), dan dasa wisma tangguh. Semuanya sudah
dilakukan, tinggal bagaimana meningkatkannya.
Ya, gaung gerakan literasi kebencanan juga terdengar melalui
media sosial. banyak pihak yang mulai
berkenan membantu menggaungkan gerakan literasi kebencanaan dengan segala
kemampuan dan keunikannya, guna membangun budaya sadar bencana, khususnya bagi
masyarakat yang berdomisili di kawasan rawan bencana.
Tujuannya, diantaranya memberi kesadaran masyarakat akan pentingnya mengenal potensi bencana yang ada di derahnya. Literasi bencana adalah bagian dari mitigasi nonstruktural yang fokus pada pemahaman terhadap bencana melalui edukasi dengan berbagai bentuknya, sesuai kebutuhan dan kearifan lokal setempat.
Salah satu pengertian Literasi kebencanaan menurut Brown
et.al (2014:267) adalah kapasitas individu dalam membaca, memahami dan
menggunakan informasi tersebut untuk kemudian dibuatkan sebuah kebijakan
informasi dengan mengikuti instruksi-instruksi dalam konteks mitigasi, kesiapsiagaan,
respon, dan pemulihan dari bencana.
Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Jawa Timur, melalui
kegiatan sambang desa sinau bareng (SDSB), secara tidak langsung juga sedang
mensosialisasikan literasi kebencanaan kepada masyarakat. Sekaligus meningkatkan
wawasan anggotanya. Semua dilakukan secara informal, misalnya melalui aktivitas
jagongan santai sambil ngopi. Sambil guyonan, proses literasi kebencanaan dan
berbagi pengalaman terus berjalan.
Harapannya, dari pertemuan itu dapat membangun kesadaran
untuk memahami dan meningkatkan kapasitas
dalam pengetahuan kebencanaan, yang pada akhirnya mampu melakukan
sosialisasi pengurangan resiko bencana untuk peningkatan kapasitas masyarakat.
Artinya, masyarakat yang di daerahnya memiliki potensi
bencana, perlu kiranya ‘disentuh’ dengan literasi kebencanaan agar mereka
memiliki ketangguhan menghadapi bencana. Ingat, jika terjadi bencana, maka
masyarakatlah yang akan menjadi korban pertama, sekaligus penyelamat pertama
sebelum bantuan dari luar datang. Untuk itulah perlu kiranya membangun
kesiapsiagaan masyarakat melalui gerakan literasi bencana.
Pertanyaannya kemudian, sudahkah relawan melakukannya ?, dan
apakah literasi kebencanaan sudah berdampak pada ketangguhan masyarakat
menghadapi bencana ?.
Tidak ada salahnya jika FPRB menjadikan peristiwa bencana
banjir di wilayah Batu sebagai bahan sosialisasi pengurangan risiko bencana
kepada masyarakat yang berdomisili di kawasan rawan bencana, (termasuk
melakukan pendampingan kepada destana dan SPAB yang pernah diadakan). semua itu
penting, agar peristiwa yang memilukan itu tidak terjadi lagi. Konon, di
wilayah Batu sering terjadi banjir dan longsor, namun tampaknya belum ada upaya
yang signifikan. Entah mengapa.
Sangat menarik dan inspiratif
ReplyDelete